Langit Jakarta sore itu berwarna kelabu. Hujan rintik-rintik baru saja reda, meninggalkan genangan di depan Gedung DPR/MPR RI. Ribuan mahasiswa, aktivis, hingga pekerja ojol memenuhi jalanan, mengibarkan spanduk besar bertuliskan:
“17 + 8 = Keadilan Rakyat!”
Di tengah hiruk pikuk, seorang pria berjaket hitam dengan tatapan tajam berjalan perlahan, menyelusup di antara barisan massa. Ia adalah Detektif Rio, yang biasanya mengusut kasus kriminal, tapi kini ia turun langsung ke jalan—bukan sekadar penonton, melainkan bagian dari tuntutan rakyat.
1. Suara Rakyat, Suara Luka
Rio teringat kabar yang membuat gelombang ini membesar: seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat aksi sebelumnya. Luka bangsa itu tak bisa dihapus dengan janji manis.
“Kalau keadilan bisa dibeli, rakyat kecil seperti kita hanya dapat sisa remah,” gumam Rio sambil menggenggam catatan berisi 17+8 tuntutan rakyat.
2. Aksi di Depan Gedung DPR
Mahasiswa Universitas Padjadjaran berteriak lantang:
-
“Tarik TNI dari pengamanan sipil!”
-
“Publikasikan transparansi anggaran DPR!”
-
“Bebaskan semua demonstran yang ditahan!”
Spanduk raksasa terbentang: “Buka mata, DPR bukan raja, rakyat bukan budak!”
Rio berdiri di antara kerumunan. Ia tak membawa pistol atau borgol hari itu—hanya sebuah buku catatan, perekam suara, dan insting tajamnya.
Ia mendekati seorang mahasiswi berhijab yang tengah berorasi. Siti Aisyah, begitu namanya, yang dengan suara serak tapi penuh semangat berkata:
“Kami tidak butuh janji, kami butuh bukti. Keadilan untuk rakyat, sekarang juga!”
Rio mencatat, "Generasi muda bukan lagi diam. Mereka menagih, mereka melawan."
3. Jejak Dana yang Misterius
Sementara itu, di balik gedung, Rio menyusup masuk dengan bantuan jaringan lamanya di pers. Ia menemukan laporan internal tentang dana reses anggota DPR—jumlahnya fantastis, tapi penggunaan laporannya samar.
“Andhyta benar… dana reses ini abu-abu. Apakah benar untuk komunikasi dengan rakyat? Atau hanya untuk pesta politik?” bisik Rio sambil memotret dokumen dengan kameranya.
Ia tahu, bukti ini bisa jadi amunisi penting.
4. Pertemuan dengan Andhyta
Malamnya, Rio bertemu dengan Andhyta Firselly Utami, salah satu penggagas gerakan. Di sebuah kafe kecil, Andhyta menatapnya serius.
“Kami hanya ingin DPR benar-benar bekerja untuk rakyat. Semua tunjangan, semua fasilitas itu harus berbasis kinerja. Kalau tidak, untuk apa mereka dipilih?” katanya.
Rio menatap matanya. “Saya sudah melihat laporan tentang dana reses. Ada hal yang tidak beres. Saya bisa bantu menyingkapnya.”
Andhyta tersenyum tipis. “Kalau begitu, Rio, kamu bukan hanya detektif kriminal. Kamu detektif rakyat.”
5. Gelombang Besar
Hari demi hari, demo semakin meluas. Dari Bandung, Surabaya, Yogyakarta, hingga Makassar, suara rakyat bergema:
“17+8! Hidup rakyat! Hapus janji palsu DPR!”
Media sosial meledak, influencer besar seperti Jerome Polin, Chandra Liow, dan Andovi Da Lopez menyuarakan dukungan. Tagar #RakyatMenuntut178 menjadi trending global.
Rio, yang biasanya bergerak sendirian, kini merasa bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Bukan sekadar kasus, melainkan perjuangan sejarah.
6. Misteri yang Belum Tuntas
Namun, Rio tahu, masih ada bahaya. Dari balik tirai politik, ada pihak-pihak yang ingin membungkam gerakan ini. Telepon Rio bergetar—pesan tanpa nama:
"Berhenti usut dana reses, atau nyawamu jadi taruhan."
Rio tersenyum tipis. Ancaman semacam itu sudah biasa. Tapi kali ini, ia bukan hanya melawan mafia atau pembunuh bayaran. Ia melawan sistem yang lebih besar dari dirinya.
Epilog
Di depan gedung DPR, malam itu, suara massa masih bergemuruh. Rio berdiri di tengah-tengah, kepalan tangannya terangkat tinggi.
“Selama 17+8 belum dipenuhi, rakyat tidak akan berhenti. Dan saya juga tidak akan berhenti.”
Lampu-lampu jalan berpendar, wajah-wajah muda penuh semangat, dan di udara, sebuah keyakinan lahir:
Detektif Rio kini bukan hanya saksi sejarah. Ia adalah bagian dari perlawanan rakyat.
By: @Septadhana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar